kumpulan definisi penyakit

kumpulan definisi penyakit
nursing smart

Rabu, 15 Juni 2011

ponsel picu kanker otak ?

AKHIR bulan Mei lalu muncul kabar mengejutkan dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), Penelitian ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari 31 ilmuwan dari 14 negara, termasuk Amerika Serikat. Menurut WHO, radiasi ponsel dikategorikan sama dengan zat karsinogenik, yaitu pemicu kanker.
Terlebih dengan munculnya berbagai pendapat yang kontroversial tentang efeknya terhadap kesehatan, dalam hal ini berkaitan dengan kuatnya pancaran gelombang radio dan letak penggunaan ponsel yang menempel pada kepala. Kontroversi tentang efek ponsel terhadap kesehatan, dapat ditunjukkan dengan beberapa hasil penelitian berikut.
Hasil Penelitian
Sebuah penelitian di Finlandia membuktikan, radiasi elektromagnetik pada penggunaan ponsel selama satu jam, mempengaruhi produksi protein pada sel. Meskipun hal ini tidak harus membahayakan kesehatan jika terjadi pada sel-sel tubuh pada umumnya, tetapi tidak demikian jika terjadi pada sel-sel otak, karena dapat berakibat fatal.
Sebuah laporan hasil penelitian dari Swedia (European Journal of Cancer Prevention, Agustus 2002), penggunaan ponsel analog (misalnya AMP) lebih rentan bagi timbulnya kanker otak dibandingkan dengan yang tidak pernah menggunakan sama sekali. Semakin lama menggunakan, semakin besar risiko terkena kanker otak.
Sementara itu,  ICNIRP (International Commission on Non-Ionizing Radiation Protection) dan FCC (Federal Communications Commission), menyatakan bahwa ponsel aman, meskipun juga mewajibkan produsen untuk mencantumkan tingkat pajanan radiasi SAR (Specific Absorption Rate) pada buku manualnya. Meskipun emisi telepon selular sangat kecil, apabila berada di dekat kepala selama beberapa menit, dapat menaikkan suhu sel-sel di dekat otak sekitar 0,1 derajat C.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Universitas Lund, Swedia, menunjukkan bahwa radiasi yang dipancarkan oleh ponsel dapat mempengaruhi fungsi enzim dan protein. Penelitian pada tikus percobaan menunjukkan adanya perubahan protein albumin yang berfungsi dalam memasok aliran darah ke otak.
Ahli lain, Leif Salford, seorang peneliti dampak pemakaian ponsel terhadap kesehatan yang pendapatnya banyak dikutip, mengatakan bahwa gelombang mikro yang keluar dari ponsel dapat memicu timbulnya penyakit alzheimer atau kepikunan lebih awal dari usia semestinya.
Walaupun belum terbukti secara langsung bahwa penggunaan ponsel adalah penyebab utama timbulnya penyakit alzheimer, tetapi menurut Salford, akibat yang mungkin ditimbulkan oleh radiasi elektromagnetik dari ponsel tidak boleh diabaikan begitu saja, tetapi harus secara cermat diteliti.
Berbagai hasil penelitian telah membuktikan adanya dua penyebab. Pertama, electromagnetic compatibility (EMC). Emisi energi dari telepon selular misalnya, memang mengganggu peralatan elektronik seperti alat pacu jantung dan alat bantu pendengaran.
Di samping itu, interferensi pada pemancar adalah hal yang umum terjadi, biasa mengganggu peralatan elektronik yang bersifat penerima seperti amplifier (penguat audio), radio, TV. Teknologi mutakhir memang memberi perhatian pada bagian penyaringan pemancar maupun penerima, supaya gelombang yang tidak perlu dibuang, sehingga tidak menyebabkan radiasi. Sampai saat ini pun interferensi tetap ada meskipun dalam tingkat radiasi yang kecil.
Kedua, gangguan datang dari electromagnetic radiation (EMR), yang diduga menimbulkan kanker. Dalam teknologi digital, sinyal modulasi amplitudo yang digunakan besarnya 100 persen. Sinyal ini salah satu yang dituduh mengganggu.
Radiasi Elektromagnetik
Hasil perhitungan tersebut di atas menunjukkan bahwa quantum energi yang ditimbulkan oleh radiasi elektromagnetik ponsel, secara kuantitas relatif masih kecil karena hanya berkisar seper sejuta elektron Volts. Namun fungsi jarak harus pula diperhitungkan. Apabila jarak sumber radiasi dengan materi, yaitu jarak antara pesawat ponsel dengan kepala (khususnya telinga) diperhitungkan, maka dampak radiasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh ponsel harus diperhitungkan pula.
Hal ini karena intensitas radiasi elektromagnetik yang diterima oleh materi (kepala), akan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Artinya, semakin dekat dengan sumber radiasi (ponsel) akan semakin besar radiasi yang diterima.
Demikian pula, waktu berbicara atau kontak dengan ponsel, maka akumulasi dampak radiasi akibat pemakaian ponsel perlu dicermati.
Pengamatan lebih jauh mengenai dampak radiasi elektromagnetik ponsel terhadap tubuh manusia, ternyata mempunyai kemiripan dengan dampak radiasi elektromagnetik yang ditimbulkan oleh radar. Pesawat radar sejauh ini telah diduga mempunyai dampak terhadap manusia yang berada pada sekitar instalasi radar.
Dampak tersebut adalah kemampuan radar mengagitasi molekul air yang ada dalam tubuh manusia. Perlu diingat bahwa sel-sel yang terdapat dalam tubuh manusia sebagian besar mengandung air, maka dampak agitasi terhadap molekul air perlu mendapat perhatian yang seksama. Kalau intensitas radiasi elektromagnetiknya cukup kuat, maka molekul-molekul air terionisasi, sehingga dapat menaikkan suhu molekul air yang ada di dalam sel-sel tubuh manusia. Akibat lebih lanjut, berpengaruh terhadap kerja susunan saraf, kelenjar dan hormon.
Mengurangi Pajanan
Meskipun ada pernyataan WHO bahwa ponsel dapat memicu kanker otak, kita tidak perlu cemas dan  khawatir. Ada beberapa kiat untuk mengurangi kmungkinan buruk tersebut.
Kiat mengurangi pajanan radiasi elektromagnetik ponsel pada prinsipnya terdapat tiga upaya yang dapat dilakukan, yaitu (1) Waktu,, dengan meminimalkan waktu pajanan, (2) Jarak, dengan memaksimalkan jarak dari sumber radiasi, serta (3) Memasang penahan radiasi yang sesuai dengan jenis radiasi.
Langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain (Anies, 2009) sebagai berikut.
•   Sedapat mungkin jauhkan ponsel dari kepala. Kekuatan gelombang elektromagnetik akan berkurang secara drastis dengan bertambahnya jarak.
•  Jangan menggunakan ponsel kalau tidak perlu sekali.
• Persingkat percakapan, jangan menunggu sampai telinga terasa panas.
•  Manfaatkan pesan singkat (SMS).  Penggunaan SMS sangat dianjurkan, sejauh pesan telah terwakili dengan SMS, tanpa harus berbicara secara langsung
•  Pergunakan headset atau handsfree seefektif mungkin.
•  Minumlah susu, karena susu mengandung asam amino  tryptophan yang merangsang pengeluaran melatonin. Hal ini dapat mengurangi keluhan akibat radiasi elektromagnetik.

Artritis Reumatoid (Rematik)

Artritis Reumatoid (AR) salah satu dari beberapa penyakit rematik adalah suatu penyakit otoimun sistemik yang menyebabkan peradangan pada sendi. Penyakit ini ditandai oleh peradangan sinovium yang menetap, suatu sinovitis proliferatifa kronik non spesifik. Dengan berjalannya waktu, dapat terjadi erosi tulang, destruksi (kehancuran) rawan sendi dan kerusakan total sendi. Akhirnya, kondisi ini dapat pula mengenai berbagai organ tubuh.
Penyakit ini timbul akibat dari banyak faktor mulai dari genetik (keturunan) sampai pada gaya hidup kita (merokok). Salah satu teori nya adalah akibat dari sel darah putih yang berpindah dari aliran darah ke membran yang berada disekitar sendi.
Faktor risiko yang akan meningkatkan risiko terkena nya artritis reumatoid adalah;
  • Jenis Kelamin.
Perempuan lebih mudah terkena AR daripada laki-laki. Perbandingannya adalah 2-3:1.
  • Umur.
Artritis reumatoid biasanya timbul antara umur 40 sampai 60 tahun. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (artritis reumatoid juvenil)
  • Riwayat Keluarga.
Apabila anggota keluarga anda ada yang menderita penyakit artritis rematoid maka anda kemungkinan besar akan terkena juga.
  • Merokok.
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena artritis reumatoid.
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda dari AR dapat dilihat sebagai berikut;
  • Nyeri sendi
  • Pembengkakan sendi
  • Nyeri sendi bila disentuh atau di tekan
  • Tangan kemerahan
  • Lemas
  • Kekakuan pada pagi hari yang bertahan sekitar 30 menit
  • Demam
  • Berat badan turun
Artritis reumatoid biasanya menyebabkan masalah dibeberapa sendi dalam waktu yang sama. Pada tahap awal biasanya mengenai sendi-sendi kecil seperti, pergelangan tangan, tangan, pergelangan kaki, dan kaki. Dalam perjalanan penyakitnya, selanjutnya akan mengenai sendi bahu, siku, lutut, panggul, rahang dan leher.
Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaaan darah rutin. Orang dengan RA pemeriksaan rasio sedimen eritrosit (ESR) cenderung meningkat, pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya proses peradangan dalam tubuh. Pemeriksaan darah lain yang biasa nya dilakukan adalah pemeriksaan antibodi seperti faktor rheumatoid dan anti-CCP.
Selain itu juga dapat dilakukan analisa cairan sendi. Dokter anda akan mengambil cairan sendi dengan menggunakan jarum steril, lalu cairan sendi akan dianalisa apakah terdapat peningkatan kadar leukosit atau tidak dan juga dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit  rematik lainnya.
Pemeriksaan foto rontgen dilakukan untuk  melihat progesifitas penyakit RA. Dari hasil foto dapat dilihat adanya kerusakan jaringan lunak maupun tulang. Pemeriksaaan ini dapat memonitor progresifitas dan kerusakan  sendi jangka panjang.
Tata Laksana
Penyakit rheumatoid arthritis tidak dapat disembuhkan.  Tujuan dari pengobatan adalah mengurangi peradangan sendi untuk mengurangi nyeri dan mencegah atau memperlambat kerusakan sendi. Secara umum pengobatan yang dapat dilakukan adalah pemberian obat-obatan dan operasi.
Dibawah ini adalah contoh-contoh obat yang dapat diberikan;
  • NSAIDs. Obat anti-infalamasi nonsteroid (NSAID) dapat mengurangi gejala nyeri dan mengurangi proses peradangan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah ibuprofen dan natrium naproxen. Golongan ini mempunyai risiko efek samping yang tinggi bila di konsumsi dalam jangka waktu yang lama.
  • Kortikosteroid. Golongan kortikosteroid seperti prednison dan metilprednisolon dapat mengurangi peradangan, nyeri dan memperlambat kerusakan sendi. Dalam jangka pendek kortikosteroid memberikan hasil yang sangat baik, namun bila di konsumsi dalam jangka panjang efektifitasnya berkurang dan memberikan efek samping yang serius.
  • Obat remitif (DMARD). Obat ini diberikan untuk pengobatan jangka panjang. Oleh karena itu diberikan pada stadium awal untuk memperlambat perjalanan penyakit dan melindungi sendi dan jaringan lunak disekitarnya dari kerusakan.  Yang termasuk dalam golongan ini adalah klorokuin, metotreksat salazopirin, dan garam emas.
Pembedahan menjadi pilihan apabila pemberian obat-obatan tidak berhasil mencegah dan memperlambat kerusakan sendi.  Pembedahan dapat mengembalikan fungsi dari sendi anda yang telah rusak.  Prosedur yang dapat dilakukan adalah artroplasti, perbaikan tendon, sinovektomi.
Istilah rheumatism berasal dari bahasa Yunani, rheumatismos, yang berarti mukus; suatu cairan yang dianggap jahat, mengalir dari otak ke sendi dan struktur lain tubuh sehingga menimbulkan rasa nyeri. Beberapa penelitian menunjukkan memang ada perubahan struktur mucine sendi (mukopolisakarida, asam hialuronat) pada beberapa jenis penyakit reumatik, sehingga istilah yang telah agak lama dipakai itu agaknya masih sesuai sampai saat ini.
Setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal disebut reumatik, termasuk penyakit jaringan ikat (penyakit kolagen). Sedangkan istilah artritis, umumnya dipakai bila sendi merupakan tempat utama penyakit reumatik.
Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk penyakit artritis, fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainnya yang menimbulkan nyeri somatik dan kekakuan.
Hingga kini dikenal lebih dari 100 macam penyakit sendi yang seringkali memberikan gejala yang hampir sama. Oleh karena itu pendekatan diagnostik sangat diperlukan agar didapatkan diagnosis yang tepat, sehingga pasien akhirnya memperolah penatalaksanaan yang adekuat. Perlu diingat pula bahwa gangguan reumatik dapat merupakan manifestasi artikular berbagai penyakit dan sebaliknya beberapa penyakit reumatik mempunyai manifestasi ekstra-artikular pada berbagai organ. 

2.2. Epidemiologi
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3 sampai 2,1 persen).15 Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1.7 Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.8
Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita. Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan 600.000 pria.2
2.3. Etiologi
Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.8
Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini.8
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab AR antara lain adalah bakteri, mikoplasma atau virus.8,10
Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60 sampai 90 kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap stress. Walaupun telah diketahui terdapat hubungan antara HSP dan sel T pada pasien AR, mekanisme ini belum diketahui dengan jelas.10
2.4. Patogenesis
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor b ­­­(TNF-b), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.8,10 Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b.
Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus.10 Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.7
2.5. Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.

Gambar 1. Rheumatoid Arthritis Versus Osteoarthritis. 4
4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.13
Tabel 2. Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid, Revisi 1987. 5
Kriteria Definisi
1. Kaku pagi hari Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan disekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal
2. Artritis pada 3 daerah Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14 persendian yang memenuhi kriteria yaitu PIP, MCP, pergelangan tangan, siku pergelangan kaki dan MTP kiri dan kanan.
3. Artritis pada       persendian tangan Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti yang tertera diatas.
4. Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah sisi, keterlibatan PIP, MCP atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris.
5. Nodul rheumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta-artrikular yang diobservasi oleh seorang dokter.
6. Faktor rheumatoid serum Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.
7. Perubahan gambaran Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas bagi arthritis reumotoid pada periksaan sinar X tangan posteroanterior atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokalisasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak memenuhi persyaratan).
  Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita artritis reumatoid jika ia sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 4 harus terdapat minimal selama 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis tidak dieksklusikan. Pembagian diagnosis sebagai artritis reumatoid klasik, definit, probable atau possible tidak perlu dibuat.
* PIP : Proximal Interphalangeal, MCP : Metacarpophalangeal, MTP: Metatarsophalangeal
2.1. Manivestasi Klinis Artritis Reumatoid
Walaupun gejala AR dapat timbul berupa serangan poliartritis akut yang berkembang cepat dalam beberapa hari, pada umumnya gejala penyakit berkembang secara perlahan dalam masa beberapa minggu. Dalam keadaan dini, AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic rheumatism, yaitu timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul yang berlangsung antara 3 sampai 5 hari dan diselingi dengan masa remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR yang khas. Dalam keadaan ini AR juga dapat bermanifestasi sebagai paurciarticular rheumatism, yaitu gejala poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran klinis seperti ini seringkali menyebabkan kesukaran dalam menegakkan diagnosis AR dalam masa dini.1
2.2. Manivestasi Neurologis
Manivestasi neurologis sering terjadi pada penderita artritis reumatoid kronis dengan faktor reumatoid positif. Sering terjadi neuropati. Neuropati kompresi atau jepitan terjadi akibat pembengkakan jaringan ikat yang menekan saraf tepi. Paling sering terjadi kompresi saraf medianus pada pergelangan tangan yang dikenal sebagai sindroma terowongan karpal (CTS); carpal tunnel syndrome). Neuropati sensoris bagian distal dengan disestesia atau rasa terbakar pada tangan atau kaki yang terjadi kadang sukar dibedakan dengan gejala artritisnya. Jarang terjadi neuropati sensorimotor, tetapi bila terjadi bersifat progresif dan dapat menyebabkan suatu penurunan kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas. Mielopati dapat terjadi pada penderita AR karena sering terlibatnya vertebra servikalis dan menimbulkan penyempitan kanalis spinalis pada fleksi leher setelah terjadi subluksasi atlantoaksial. Gejala akibat gangguan sirkulasi posterior berupa vertigo dan kelemahan akibat kompresi atau trombosis arteria vertebralis. Penderita artritis reumatoid lanjut harus mengenakan bidai leher bila mengendarai mobil atau motor dan harus dilakukan foto leher posisi fleksi sebelum menjalani anestesi umum. Artritis reumatoid juga dapat mengakibatkan miopati.11
2.3. Manivestasi Artikular
Manifestasi artikular ini dapat dibagi menjadi 2 kategori :
1. Gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel.
2. Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel.
Adalah sangat penting untuk membedakan kedua hal ini karena penatalaksanaan kedua kelainan tersebut sangat berbeda. Sinovitis merupakan kelainan yang umumnya bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau pengobatan non-surgikal lainnya. Pada fihak lain kerusakan struktur persendian akibat kerusakan rawan sendi atau erosi tulang periartikular merupakan proses yang tidak dapat diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi mekanik atau pembedahan rekonstruktif.
Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku pagi hari. Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai pada AR aktif. Berbeda dengan rasa kaku yang dapat dialami oleh pasien osteoartritis atau kadang-kadang oleh orang normal, kaku pagi hari pada AR berlangsung lebih lama, yang pada umumnya lebih dari 1 jam. Lamanya kaku pagi hari pada AR agaknya berhubungan dengan lamanya imobilisasi pada saat pasien sedang tidur serta beratnya inflamasi. Gejala kaku pagi hari akan menghilang jika remisi dapat tercapai. Faktor lain penyebab kaku pagi hari adalah inflamasi akibat sinovitis. Inflamasi akan menyebabkan terjadinya imobilisasi persendian yang jika berlangsung lama akan mengurang pergerakan sendi baik secara aktif maupun secara pasif.1
Otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan cenderung untuk mengalami spasme dan pemendekan. Fenomen ini terutama jelas terlihat pada otot intrinsik tangan yang berjalan sepanjang persendian metacarpophalangeal, (MCP) dan otot peroneus anterior yang berjalan sepanjang persendian talonavikularis pada arkus pedis.
Deformitas persendian pada AR dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus. Sinovitis akan menyebabkan kerusakan rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga menyebabkan terbentuknya permukaan sendi yang tidak rata. Jika kerusakan rawan sendi terjadi pada daerah yang luas dan imobilisasi berlangsung lama, akan terjadi fusi tulang-tulang yang membentuk persendian. Lebih jauh pannus yang menginvasi jaringan kolagen serta proteoglikan rawan sendi dan tulang dapat menghancurkan struktur persendian sehingga terjadi ankilosis.
Ligamen yang dalam keadaan normal berfungsi untuk mempertahankan kedudukan persendian yang stabil dapat pula menjadi lemah akibat sinovitis yang menetap atau pembentukan pannus yang memiliki kemampuan melarutkan kolagen tendon, ligamen atau rawan sendi. Gangguan stabilitas dapat jelas terlihat pada subluksasio persendian MCP akibat terjadinya perubahan arah gaya tarik tendon sepanjang aksis rotasi sehingga menyebabkan terbentuknya deviasi ulnar yang khas dan AR.1
Walaupun peran sinovitis dalam menyebabkan deformitas persendian berlaku bagi semua persendian, terdapat beberapa aspek khusus yang berhubungan dengan sendi tertentu.
Vertebra Servikalis
Walaupun AR jarang melibatkan segmen vertebralis lainnya, vertebra servikalis merupakan segmen yang sering terlibat pada AR. Proses inflamasi ini melibatkan persendian diartrodial yang tidak tampak atau teraba oleh pemeriksaan. Gejala dini AR pada Vertebra servikalis umumnya bermanifestasi sebagai kekakuan pada seluruh segmen leher disertai dengan berkurangnya lingkup gerak sendi secara menyeluruh.1 Tenosinovitis ligamen transversum C1 yang mempertahankan kedudukan prosesus odontoid C2 dapat menyebabkan timbulnya gangguan stabilitas C1- C2. Mielopati dapat timbul akibat terjadinya erosi prosesus odontoin yang menyebabkan pengenduran dan ruptura ligamen sehingga menimbulkan penekanan pada medulla spinalis. Gangguan stabilitas sendi akibat peradangan dan kerusakan pada permukaan sendi apofiseal dan pengenduran ligamen juga dapat menyebabkan terjadinya subluksasio yang sering dijumpai pada C4-C5 atau C5 -C6.
Gelang Bahu
Peradangan pada gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi gelang bahu. Karena dalam aktivitas sehari-hari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak yang luas, umumnya pada keadaan dini pasien tidak merasa terganggu dengan keterbatasan tersebu. Walaupun demikian, tanpa latihan pencegahan akan mudah terjadi kekakuan gelang bahu yang berat yang disebut sebagai frozen shoulder syndrome.
Siku
Karena terletak superfisial, sinovitis artikulasio kubiti dapat dengan mudah teraba oleh pemeriksa. Sinovitis dapat menimbulkan penekanan pada nervus ulnaris sehingga menimbulkan gejala neuropati tekanan. Gejala ini bermanifestasi sebagai parestesia jari 4 dan 5 akan kelemahan otot fleksor jari 5
Gambar 2. Arthritis, Rheumatoid. Rheumatoid nodules at the elbow.
Photograph by David Effron MD, FACEP.17
Tangan
Berlainan dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relatif jarang dijumpai, keterlibatan persendian pergelangan tangan, MCP dan PIP hampir selalu dijumpai pada AR. Gambaran swan neck deformities akibat fleksi kontraktur MCP, heperekstensi PIP dan fleksi DIP serta boutonniere akibat fleksi PIP dan hiperekstensi DIP dapat terjadi akibat kontraktur otot serta tendon fleksor dan interoseus merupakan deformitas patognomonik yang banyak dijumpai pada AR
Selain gejala yang berhubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat dijumpai nyeri atau disfungsi persendian akibat penekana nervus medianus yang terperangkap dalam rongga karpalis yang mengalami sinovitis sehingga menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome. Walaupun jarang, nervus ulnaris yang berjalan dalam kanal Guyon dapat pula mengalami penekanan dengan mekanisme yang sama.
AR dapat pula menyebabkan terjadinya tenosinovitis akibat pembentukan nodul reumatoid sepanjang sarung tendon yang dapat menghambat gerakan tendon dalam sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat menyebabkan terjadinya erosi tendon dan mengakibatkan terjadinya ruptur tendon yang terlibat.
Gambar 3. Arthritis, Rheumatoid. Rheumatoid changes in the hand.
Photograph by David Effron MD, FACEP. 17
Panggul
Karena sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul akibat AR umumnya sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan sendi panggul mungkin hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak yang tidak jelas atau gangguan ringan pada kegiatan tertentu seperti saat mengenakan sepatu. Walaupun demikian, jika destruksi rawan sendi telah terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan berkembang lebih cepat dibandingkan gangguan pada persendian lainnya.
Lutut
Penebalan sinovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada pemeriksaan. Herniasi kapsul sendi kearah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker.
Kaki dan Pergelangan Kaki
Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan pergelangan kaki merupakan gambaran yang khas AR. Karena persendian kaki dan pergelangan kaki merupakan struktur yang menyangga berat badan, keterlibatan ini akan menimbulkan disfungsi dan rasa nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan keterlibatan ekstremitas atas. Peradangan pada sendi talonavikularis akan menyebabkan spasme otot yang berdekatan sehingga menimbulkan deformitas berupa pronasio dan eversio kaki yang khas pada AR. Walaupun jarang, nervue tibialis posterior dapat pula mengalami penekanan akibat sinovitis pada rongga tarsalis (tarsal tunnel) yang dapat menimbulkan gejala parestesia pada telapak kaki.
2.4. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.
Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
2.5. Pemeriksaan Penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada pemeriksaan laboraturium terdapat:
1. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat.
4. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada periksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering adalah sendi metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi.
2.6. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama.
1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin
Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka.

Jenis-jenis yang digunakan adalah:
a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.
Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian.
f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.3
4. Riwayat Penyakit alamiah
Riwayat penyakit alamiah AR sangat bervariasi. Pada umumnya 25% pasien akan mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode AR dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Pada pihak lain sebagian besar pasien akan menderita penyakit ini sepanjang hidupnya dengan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita AR yang progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi.12
Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa dengan pengobatan yang digunakan saat ini, sebagian besar pasien AR umumnya akan dapat mencapai remisi dan dapat mempertahankannya dengan baik pada 5 atau 10 tahun pertamanya. Setelah kurun waktu tersebut, umumnya pasien akan mulai merasakan bahwa remisi mulai sukar dipertahankan dengan pengobatan yang biasa digunakan selama itu. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien sukar mempertahankan ketaatannya untuk terus berobat dalam jangka waktu yang lama, timbulnya efek samping jangka panjang kortikosteroid. Khasiat DMARD yang menurun dengan berjalannya waktu atau karena timbulnya penyakit lain yang merupakan komplikasi AR atau pengobatannya. Hal ini masih merupakan persoalan yang banyak diteliti saat ini, karena saat ini belum berhasil dijumpai obat yang bersifat sebagai disease controlling antirheumatic therapy (DC-ART).9
5. Rehabilitasi pasien AR
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR dengan cara:1
· Mengurangi rasa nyeri
· Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
· Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
· Mencegah terjadinya deformitas
· Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
· Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.7
6. Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
2.7. Artritis Reumatoid Juvenilis
Anak-anak dapat terkena AR seperti orang dewasa. Di Amerika Serikat 13,9/ 100.000. Terdapat tiga subtipe AR juvenilis bila dipandang dari awitan gejalanya.
Awitan sistemik (penyakit still) mengenai sekitar 20% dari semua kasus. Anak laki-laki dan perempuan terserang dalam jumlah yang sebanding. Bentuk ini dapat terjadi pada setiap usia. Sesuai dengan namanya penyakit ini melibatkan berbagai sistem organ, namun disamping itu juga mengakibatklan poliartritis klinik. Subtipe ini memiliki prognosis terburuk dari antara ketiga tipe dan dapat menyebabkan keterlambatan dalam pertumbuhan.
Awitan poliartikular bertanggung jawab atas sekitar 40% dari semua kasus. Anak perempuan diserang dengan rasio 2:1 bila dibandingkan dengan anak laki-laki, dan bentuk ini juga dapat terjadi pada semua umur. Lima atau lebih sendi terserang pada saat yang bersamaan tetapi biasanya hanya mengkibatkan kelainan ekstra artikular yang tidak berat. Bentuk ini memiliki prognosis yang lebih baik daripada awitan sistemik, tetapi dapat juga menyebabkan keterlambatan pertumbuhan.
Awitan pausiartikular bertanggung jawab atas kira-kira 40 dari semua kasus. Anak perempuan yang diserang dengan rasio 6:1 bila dibandingkan dengan laki-laki. Bentuk ini biasanya terjadi sebelum usia 6 tahun. Tidak lebih dari 4 sendi akan diserang, dan biasanya tidak ada atau jarang terjadi kelainan ekstra-artikular. Bentuk ini memiliki prognosis yang paling baik dari ketiga bentuk.
Penatalaksanaan artritis reumatoid juvenilis serupa dengan penatalaksanaan penyakit ini pada orang dewasa, tetapi ada beberapa perbedaan penting. Beberapa obat yang dipakai untuk orang dewasa tidak boleh diberikan pada anak-anak. Kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan, osteoporosis dan katarik. Beberapa obat imunosupresif dapat menekan fungsi sumsum tulang, sterilitas, dan keganasan pada anak-anak.13
Kesimpulan
1. Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit autoimun sistemik menahun yang proses patologi utamanya terjadi di cairan sinovial.
2. Penderita Artritis Reumatoid seringkali datang dengan keluhan artritis yang nyata dan tanda-tanda keradangan sistemik. Baisanya gejala timbul perlahan-lahan seperti lelah, demam, hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan, nyeri, dan kaku sendi.
3. Meskipun penderita artritis reumatoid jarang yang sampai menimbulkan kematian, namun apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala deformitas/cacat yang menetap. Selain itu karena penyakit ini bersifat kronis dan sering kambuh, maka penderita akan mengalami penurunan produktivitas pekerjaan karena gejala dan keluhan yang timbul menyebabkan gangguan aktivitas fisik, psikologis, dan kualitas hidup menderita.
4. Meskipun prognose untuk kehidupan penderita tidak membahayakan, akan tetapi kesembuhan penyakit sukar tercapai.
5. Tujuan pengobatan adalah menghasilkan dan mempertahankan remisi atau sedapat mungkin berusaha menekan aktivitas penyakit tersebut. Tujuan utama dari program terapi adalah meringankan rasa nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan mencegah dan/atau memeperbaiki deformaitas.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Anderson RJ., 1993, Rheumatoid Arthritis. Clinical features and laboratory. Dalam : Schumacher Jr. HR, Klippel JH. Koopman WJ, eds. Primer on the Rheumatic Diseases. The Arthritis Foundation, Atlanta: 90-95.
  2. Anonim, 2004, Arthritis, http://www.arthritis.org.
  3. Anonim, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Ed.III, hal. 536-539. Jakarta: Media Aeculapius.
  4. Anonim, 2004, Rheumatoid Arthritis, http://mayoclinic.com.
  5. Arnett FC, Edworthy SM, Bloch DA, et al., 1988, The American Rheumatism Association 1987, Revised Criteria for the Classification of Rheumatoid of Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rheum; 31 (3):315-24.
  6. Daud R., 1994, Pengobatan Artritis Reumatoid. Bul Reum Ind; 1 (3):1-6.
  7. Daud. R. dan Adnan H.M., 1996, Artritis Reumatoid Dalam: Noer S. (Editor) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I, ed. III. Hal. 62-70. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
  8. Dessureault M, Carette S.,1989, Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Triangle; 28: 5-14.
  9. Edmonds JP, Scoot DL, Furst DE, et al., 1993, Antirheumatic drugs: a proposed new classification. Editorial. Arthritis Rheum; 36 (3): 336-39.
  10. Harris ED Jr., 1993, Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Dalam: Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB. Eds. Textbook of Rheumatology. 4th Ed. W.B. Saunders Co., Philadelpia; 833-873.
  11. Howard L. Weiner, Lawrence P. Levitt, 2001, Buku Saku Neurologi, Edisi V, hal. 232, Jakarta: EGC.
  12. Kraag GR., 1989, Clinical Aspects in Rheumatoid Arthritis. Triangle; 29: 15-24.
  13. Michael A. Carter, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku 2, Edisi IV, hal. 1223-1229, Jakarta: EGC.
  14. Nasution, Artritis Reumatoid, 1996, Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I, ed. III, hal 29-36. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
  15. Peter E. L., 2000,Arthritis Rheumatoid, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, ed XIII, vol.4, hal 1840-1847, Jakarta:EGC.
  16. Price, SA. Dan Wilson LM., 1993, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit bag 2. Ed. II. Hal 410-441. Jakarta: EGC.

tuberculosis

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobakterium tuberkulosis dan mycobacterium bovis (sangat jarang disebabkan oleh mycobacterium avium).Kuman batang aerobik dan tahan asam ini,dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit.ada beberapa mikobakteripatogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia yang patogenik terhadap manusia.basil tuberkel ini berukuran 0,3x2 sampai 4 mm,ukuran ini lebih kecil dari pada sel darah merah1.
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau diberbagai organ tubuh yang lainya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membrana selnya sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan dari kumannya berlangsung dengan lambat. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terutama terjadi pada malam hari8.
Mycobacterium tuberkulosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam keadaan cairan mati pada suhu 60oC dalam 15-20 menit3.

Asuhan Keperawatan Fraktur

 
 
A.     Pengertian
Fraktur  adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Bronner and Suddar th, 2001. Fraktur adalah putusnya kontinuitas sebuah tulang yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan dan krepitasi (Christine Hichliff, 1999).Femur adalah tulang paha, tulang yang paling panjang dan paling kuat dalam tubuh (Sue Hinchliff, 1999)..Open Reduction Internal Fixation (Orif) adalah suatu cara berupa reposisi secara operatif di ikuti fiksasi patah tulang dengan pemasangan fiksasi internal (R. Sjamsu Hidajat, 1997).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa fraktur radius sinistra adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang disebabkan oleh trauma/tenaga fisik dimana fraktur dapat terjadi pada tulang panjang sebelah kiri yang mana saat ini telah dilakukan reposisi operatif dengan pemasangan fiksasi interna.

B.     Patofisiologi
Fraktur radius biasanya disebabkan karena cedera/trauma/ruda paksa dimana penyebab utamanya adalah trauma langsung yang mengenai tulang seperti kecelakaan mobil, olah raga, jatuh/latihan berat. Selain itu fraktur juga bisa akiabt stress fatique (kecelakaan akibat tekanan berulang) dan proses penyakit patologis seperti penderita tumor (biasanya kanker) dimana telah tumbuh dalam tulang dan menyebabkan tulang menjadi rapuh, osteoporosis dan infeksi yang dapat terjadi pada beberapa tempat. Perdarahan biasanya terjadi  disekitar tempat patah dan kedalam jaringan  lunak disekitar tulang tersebut.Bila terjadi hematoma maka pembuluh darah vena akan mengalami pelebaran sehingga terjadi penumpukan cairan dan kehilangan leukosit yang berakibat terjadinya perpindahan, menimbulkan inflamasi atau peradangan yang menyebabkan bengkak dan akhirnya terjadi nyeri. Selain itu karena kerusakan pembuluh darah kecil/besar pada waktu terjadi fraktur menyebabkan tekanan darah menjadi turun, begitu pula  dengan suplay darah ke otak sehingga kesadaran pun menurun yang berakibat syok hipovelemi. Bila mengenai jaringan lunak maka akan terjadi luka dan kuman akan mudah untuk masuk sehingga mudah terinfeksi dan lama kelamaan akan berakibat delayed union dan mal union sedangkan yang tidak terinfeksi mengakibatkan non union.

Apabila fraktur mengenai peristeum/jaringan tulang dan lkorteks maka akan mengakibatkan deformitas, krepitasi dan pemendekan ekstrimintas. Berdasarkan proses diatas tanda dan gejalanya yaitu nyeri/tenderness, deformitas/perubahan bentuk, bengkak, peningkatan suhu tubuh/demam, krepitasi, kehilangan fungsi dan apabila hal ini tidak teratasi, maka akan menimbulkan komplikasi yaitu komplikasi umum misal : syok, sindrom remuk dan emboli lemak. Komplikasi dini misal : cedera saraf, cedera arteri, cedera organ vital, cedera kulit dan jaringan lunak sedangkan komplikasi lanjut misal : delayed, mal union, non union, kontraktor sendi dan miosi ossifikasi.

C.     Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis menurut Chaeruddin Rosjad, 1998. Sebelum menggambil keputusan untuk melakukan penatalaksanaan definitive. Prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu :
a.       Recognition : diagnosa dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anannesis, pemeriksaan kelinis dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan tehnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.
b.      Reduction : tujuannya untuk mengembalikan panjang & kesegarisan tulang. Dapat dicapai yang manipulasi tertutup/reduksi terbuka progresi. Reduksi tertutup terdiri dari penggunaan traksimoval untuk menarik fraktur kemudian memanupulasi untuk mengembalikan kesegarisan normal/dengan traksi mekanis.Reduksi terbuka diindikasikan jika reduksi tertutup gagal/tidak memuaskan. Reduksi terbuka merupakan alat frusasi internal yang digunakan itu mempertahankan dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid seperti pen, kawat, skrup dan plat. Reduction internafixation (orif) yaitu dengan pembedahan terbuka kan mengimobilisasi fraktur yang berfungsi pembedahan untuk memasukkan skrup/pen kedalam fraktur yang berfungsi untuk menfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan.
c.       Retention, imobilisasi fraktur tujuannya mencegah pengeseran fregmen dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam union. Untuk mempertahankan reduksi (ektrimitas yang mengalami fraktur) adalah dengan traksi.Traksi merupakan salah satu pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada bagian tulang-tulang sebagai kekuatan dngan kontrol dan tahanan beban keduanya untuk menyokong tulang dengan tujuan mencegah reposisi deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi, mempertahankan ligamen tubuh/mengurangi spasme otot, mengurangi nyeri, mempertahankan anatomi tubuh dan mengimobilisasi area spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi yaitu : skin traksi dan skeletal traksi.
d.      Rehabilitation, mengembalikan aktiftas fungsional seoptimal mungkin

Tahap penyembuhan fraktur menurut (Chairudin Resjad 1998)
a.       Stadium Haematum
Pada stadium ini karena pembuluh darah pecah, maka terjadi pendarahan pada daerah fraktur. Haematum terbentuk mengelilingi daerah tulang yang mengalami fraktur kemudian setelah 24 jam aliran darah pada daerah fraktur berkurang sehingga terjadi penggabungan haematoma dengan fibroblast dan membentuk fibrin. Setelah itu fibrin melindungi & menutup daerah yang rusak dan aktifitas untuk pertumbuhan kapiler dan fibroblas, karena terjadi pengurangan suplay darah ke tulang, maka akan terjadi juga nekrosis pada daerah sekitar trauma.
b.      Stadium Proliferasi
Dalam 48-72 jam setelah terjadi fraktur, bekuan darah diganti dengan jaringan granulasi, sel-sel jaringan baru mulai terbentuk pada daerah fraktur. Pada saat yang bersamaan hematum/sel darah merah dan jaringan yang rusak dihancurkan oleh fagosit
c.       Stadium Pembentukan Callus
Setelah 6-10 hari injuri bersamaan dengan terbentuknya jaringan granulasi juga terjadi pembentukan kallus sederhana/prokallus yang berisi lemak dan kemudian mengelilingi fraktur. Setelah itu terbentuk leartiloga dan matriks tulang yang baru dan kemudian akan menyebar & menembus jaringan callus. Jaringan callus akan semakin banyak terbentuk sampai pada diamater tulang yang normal, kallus akan mencapai ukuran maksimal setelah 14-21 hari setelah terjadinya injuri.
d.      Stadium Konsolidasi
Dengan adanya kandungan Ca2 Po4, kallus menjadi kuat kemudian terjadi pengapuran pada kallus dan pada periusteum serta karteks tulang selama 3-10 minggu kallus berubah menjadi tulang, kemudian formasi dari tulang tersebut mengeras, sehingga terjadinya proses penyembuhan fraktur secara sempurna. Untuk sementara, callus dapat menahan bagian tulang tetapi tak cukup kuat untuk menahan beban yang berat.
e.       Stadium Remodeling
Bilamana union telah lengkap maka tulang yang baru membentuk bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kenolis medularis. Pada stadium remodeling ini, perlahan-lahan terjadi reabsorpsi secara osteoklostik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kallus eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kollus intermediat berubah menjadi tulang kompok.

2.      Penatalaksanaan Keperawatan Menurut Marilyn E. Dongoes, 2000
a.       Mencegah Cedera tulang (jaringan lanjut)
b.      Menghilangkan Nyeri
c.       Mencegah Komplikasi
d.      Memberikan Informasi Tentang Kondisi (Prognosis dan Kebutuhan Pengobatan)

3.      Diet menurut Brunner And Suddarth 2001
Diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin D dan mineral serta tinggi kalsium

D.    Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan fraktur radius sinistra menurut Marilyn E. Doengoes 2000 di peroleh data sebagai berikut :
1.      Aktifitas (istirahat)
Tanda : Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yeng terkena (mungkin secara fraktur itu sendiri/terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan nyeri)

2.      Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah), takikerdia (respon stress, hipovolemia), penurunan/ tak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena pembengkakan jaringan/masa hepotoma pada sisi cedera

3.      Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan/sensasi, spasme otot, kebos/kesemutan (ponestesis)
Tanda : Deformitas lokal : ambulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berdesir) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri /ansietas/trauma)

4.      Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan /kesemutan pada tulang = dapat berkurang pada imobilisasi, tidak ada nyeri akibat kerusakan saraf, spasme / kram otot (setelah imobilisasi)

5.      Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, opulasi jaringan, perubahan warna, perdarahan, pembengkakan local (dapat meningkatkan secara bertahap /tiba-tiba)

6.      Penyuluhan
Gejala : Lingkungan cedera

7.      Pemeriksaan diagnostik
a.       Pemeriksaan rontgen, menentukan lokasi/luasnya fraktur/ trauma
b.      Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c.       Arteriogram : di lakukan bila kerusakan vaskuler di curigai
d.      Hitung darah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi)/menurunkan (perdarahan multiple)
e.       Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal
f.        Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfuse multiple / cedera hati.

E.     Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan analisa data menurut Marilyn E. Doengoes 2000 ditentukan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1.      Risiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas  tulang (fraktur)
2.      Nyeri (akut) b.d spasme otot/gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/mobilisasi, strees, ansietas.
3.      Risiko tinggi terhadap disfungsi neorovaskuler perifer b.d penurunan/interupsi aliran darah. Cedera vaskuler langsung, edema berlebihan/pembentukan trambus, hipovolemia
4.      Risiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas b.d pertukaran aliran, darah/emboli lemak, perubahan membran alveoli/kapiler intenstisial, edema paru , kongesti.
5.      Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan rangka neuromuskuler : nyeri/ketidaknyamanan : terapi restriktif (mobilisasi tungkai)
6.      Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit/ jaringan badan cedera tusuk,  fraktur terbuka; bedah perbaikan, pemasangan traksi pen/kawat, sekrup, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi ekskresi/ sekret, immobilisasi fisik
7.      Risiko tinggi terhadap infeksi badan tak adekuatnya pertahanan primer kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur invasif, fraksi tulang
8.      Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan badang kurang terpajan, salah interprestasi informasi/tidak mengenal sumber informasi.

F.      Perencanaan
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk masing – masing diagnosa yang meliputi proiritas keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi sebagai berikut :
1.      Risiko tinggi terhadap trauma badan kehilangan integritas tulang (fraktur)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan di harapkan trauma tidak terjadi. Kriteria Evaluasi :
a.       Mempertahankan stabilitas dan posisi fraktur
b.      Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi fraktur
c.       Menunjukkan pembentukan kallus/mulai penyatuan fraktur dengan tepat
Intervensi :
a)      Pertahankan tirah baring/ekstrimitas sesuai indikasi berikan sokongan sendi diatas dan dibawah fraktur bila bergerak
b)      Letakkan papan di bawah tempat tidur, pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit dengan bantal pasir, gulungan trochanter, papan kaki.
c)      Kaji integritas alat fiksasi eksternal
d)      Kaji ulang foto/evaluasi

2.      Nyeri (akut) badan spasme otot gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/mobilisasi, strees, ansietas
Tujuan : Setelah di lakukan hindarkan keperawatan diharapkan nyeri berkurang/hilang
Kriteria Evaluasi :
a.       Menyatakan nyeri hilang
b.      Menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam aktifitas/tidur. Istirahat dengan tepat
c.       Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual
Intervensi :
a)      Kaji tingkat nyeri, kedalaman, lokasi nyeri, karakteristik serta intensitas
b)      Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pemberat, traksi
c)      Tinggikan dan dukung ekstrimitas yang fraktur
d)      Berikan alternatif tindakan kenyamanan misal : pijatan, perubahan posisi
e)      Ajarkan menggunakan tehnik managemen stress misal : latihan nafas dalam
f)        Kolaborasi, berikan obat analgetik sesuai program

3.      Risiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer badan penurunan/interupsi aliran darah, cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus, hipovolemia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan di harapkan disfungsi neurovaskuler perifer tidak terjadi
Kriteria Evaluasi :
a.       Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit hangat/kering, sensasi biasa, tanda-tanda vital stabil
b.      Haluan urine adekuat untuk situasi individu
Intervensi :
a)      Evaluasi adanya /kualitas nadi perifer nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi, bandingkan dengan ekstremitas yang satu.
b)      Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur
c)      Pertahankan peninggian ektrimitas yang cedera kecuali di indikasikan dengan keyakinan adanya sindrom kompartemen
d)      Anjurkan klien untuk latihan rom secara rutin, ambulasi segera mungkin
e)      Beri obat sesuai indikasi

4.      Risiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas badan perubahan aliran darah/emboli lemak, perubahan membran alveolar/kapiler, interstisial, edema paru, kongesti.
Tujuan :  Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan pertukaran gas tidak terjadi
Kriteria Evaluasi :
Mempertahankan fungsi pernafasan adekuat, dibuktikan oleh tak adanya dispnea/sianosis frekuensi pernafasan dan GDA dalam batas normal.
Intervensi :
a.       Observasi frekuensi pernafasan dan upayanya
b.      Instruksi dan bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk, reposisi dengan sering
c.       Berikan tambahan O2 bila diindikasikan
d.      Berikan obat sesuai indikasi

5.      Kerusakan mobilitas fisik badan kerusakan rangka neuromuskuler : nyeri/ketidaknyaman = terapi restriktif (mobilisasi tungkai)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mobilitas adekuat
Kriteria Evaluasi :
a.       Meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
b.      Mempertahankan posisi fungsional
c.       Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh
d.      Menunjukkan tehnik yang memampukan melakukan aktivitas
Intervensi :
a)      Kaji derajat mobilisasi yang dihasilkan oleh cidera atau pengobatan dan perhatikan persepsi klien terhadap mobilisasi
b)      Instruksikan dan bantu dalam rentang gerak aktif dan pasif pada ekstremitas yang sakit dan tidak sakit
c)      Bantu dan dorong perawatan diri serta bantu mobilitas dengan kursi roda dan tongkat
d)      Observasi TTV
e)      Konsul dengan ahli terapi atau okupasi dan spesifikasi rehabilitasi.

6.      Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan cedera tusuk; fraktur terbuka; bedah perbaikan pemasangan traksipen; kawat, sekrup, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi ekskresi/sekret imobilitas fisik.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan intergritas kulit tidak terjadi.
Kriteria Evaluasi :
a.       Menyatakan ketidaknyamanan hilang
b.      Menunjukkan perilaku/tehnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi
c.       Mencapai kesembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
Intervensi :
a)      Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna
b)      Massage kulit dan penonjola hilang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan
c)      Ubah posisi sesering mungkin
d)      Bersihkan kelebihan plesteran dari kulit
e)      Massage kulit sekitar balutan luka dengan alkohol
f)        Letakkan bantalan pelindung di bawah kaki dan diatas tonjolan tulang

7.      Risiko tinggi terhadap infeksi badan tak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur  invasif traksi tulang.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi
Kriteria evaluasi :
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritemu dan demam
Intervensi :
a.       Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau robekan kontunuitas
b.      Observasi tanda infeksi (rubar, dolor, kalon, tumor, fungsiolesa)
c.       Lakukan perawatan luka sesuai program
d.      Observasi hasil laboratorium dan tanda vital
e.       Berikan obat antibiotis sesuai program

8.      Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan badan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi/tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mengetahui tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
Kriteria Evaluasi :
a.       Menyatakan pemahaman kondisi prognosis dan pengobatan
b.      Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan
Intervensi :
a)      Kaji ulang prognosis dan harapan yang akan datang
b)      Beri penguat metode mobilitas dan ambulasi sesuai program dengan fisioterapi bila di indikasikan
c)      Anjurkan penggunaan buck spalk
d)      Buat daftar perkembangan aktifitas sejauhmana klian dapat melakukan kegiatan secara mandiri dan yang memerlukan bantuan

G.    Implementasi menurut (Patrisia A. Potter,2005)
Implementasi adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan. Langkah-langkah yang perlu diselesaikan keperawatan yaitu :
1.      Mengkaji ulang klien
Fase pengkajian ulang terhadap komponen implementasi memberikan mekanisme bagi perawat untuk menentukan apakah tindakan keperawatan yang diusulkan masih sesuai.
2.      Menelaah dan memodifikasi rencana asuhan keperawatan yang ada
Perawat yang cerdik sensitif terhadap perubahan dalam status klien dan selalu memasukkan perubahan dalam status klien dan selalu memasukkan perubahan ini kedalam rencana asuhan keperawatan. Status kesehatan klien berubah secara kontinu. Oleh karenanya rencana asuhan harus fleksibel untuk dapat memasukkan perubahan yang penting. Rencana asuhan yang kadaluarsa atau tidak tepat mengganggu kualitas rencana asuhan, sementara telaahan dan modifiksi memungkinkan perawat untuk memberikan asuhan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien dengan baik.
3.      Mengidentifikasi Bidang Bantuan
Beberapa situasi keperawatan mengharuskan perawat untuk mencari bantuan dapat berupa tambahan tenaga, pengetahuan atau keterampilan keperawatan. Bantuan bisa datang dari staf perawat lain, penyelia atau pendidik atau perawat ahli. Membutuhkan bantuan sering terjadi pada semua tipe praktik keperawatan dan merupakan proses pembelajaran berkelanjutan selama pengalaman edukasi dan dalam perkembangan profesional.
4.      Mengimplementasikan Intervensi Keperawatan
Praktik keperawatan terdiri atas keterampilan kognitif yang mencakup pengetahuan keperawatan, keterampilan interpersonal dimana penting untuk tindakan keperawatan yang efektif. Keterampilan psikomotor (teknis) mencakup kebutuhan langsung perawatan klien.
5.      Mengkonsumsikan Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan dituliskan atau dikomunikasikan secara verbal. Ketika di tuliskan, intervensi keperawatan dipadukan kedalam rencana oasuhan keperawatan dan catatan medis klien. Rencana perawatan biasanya mencerminkan tujuan intervensi keperawatan dimana informasinya mencakup deskripsi singkat tentang pengkajian keperawatan prosedur spesifik dan respon klien.
Perawat menjalankan rencana asuhan keperawatan dengan menggunakan beberapa metode implementasi sebagai contoh; klien dengan diagnosa keperawatan.
Hambatan mobilitas fisik yang badan gips lengan bilateral, mungkin membutuhkan bantuan dalam melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari. Klien dengan koping individual tidak efektif yang badan ketakutan tentang diagnosa medis mungkin konseling sebagai metode intervensi keperawatan. Klien dengan kurang pengetahuan membutuhkan penyuluhan kesehatan yang difokuskan pada area yang dibutuhkan. Klien imobilisasi total atau disorientasi membutuhkan intervensi keperawatan yang memberikan perawatan total klien. Metode implementasi lainnya mencakup supervisi dan evaluasi dari anggota tim perawatan kesehatan lainnya.

H.    Evaluasi menurut (Patricia. W. Iyer. 2004)
Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan dan berasal dari hasil yang ditetapkan dalam rencana perawatan. Dimana dalam pendekumentasian evaluasi ini terdiri dari 5 aspek yaitu mengapa, apa, kapan, dimana dan bagimana pendokumentasian hasil dilakukan.
Evaluasi juga memampukan perawat dalam mengukur keterampilan pengkajian untuk menentukan alasan dimana suatu rencana perawatan telah berhasil atau tidak. Jenis evaluasi yaitu evaluasi hasil dimana evaluasi dikategorikan sebagai evaluasi formatif atau sumatif. Dimana evaluasi formatif terjadi secara periodik selama pemberian perawatan sedangkan evaluasi sumatif terjadi pada akhir aktifitas, seperti diakhir penerimaan, pemulangan atau pemindahan ketempat lain atau diakhir kerangka waktu tertentu, seperti diakhir sesi penyuluhan.
Adapun langkah dan evaluasi keperawatan, yaitu :
1.      Mengumpulkan data perkembangan pasien
2.      Menafsirkan (menginterprestasikan) perkembangan pasien
3.      Membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan dengan menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
4.      Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar normal yang berlaku.
Seorang perawat juga harus mampu menafsirkan hasil evaluasi dari masalah keperwatan klien, yaitu :
1.      Tujuan Tercapai
Bila klien menunjukkan perubahan prilaku dan perkembangan kesehatan sesuai dengan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
2.      Tujuan Tercapai Sebagian
Bila klien menunjukkan perubahan dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian tujuan yang tetap ditetapkan.
3.      Tujuan Tidak Tercapai
Bila klien menunjukkan tidak ada perubahan prilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan timbul masalah baru.